Rabu, 25 Maret 2015

Tugas Ilmu Budaya Sehat

A.           Kebudayaan  Soppeng
1.    Kelelawar
Suasana kota Soppeng akan kelihatan indah bilamana matahari melampai meninggalkan langit cerah dan ingin bergantian dengan sang rembulan. Ribuan kalong yang ingin memulai aktifitas malamnya berterbangan menutupi awan.
           Mengenai kepercayaan Masyarakat kota Soppeng kalong-kalong tersebut diyakini datang dengan sendirinya dan masyarakat soppeng menganggap bahwa Kalong-kalong tersebut adalah penjaga kota Soppeng dan sebuah pertanda adanya Kejadian baik atau buruk yang datang melanda Kota Soppeng.
           Fosil manusia purba di sulawesi selatan bertempat di soppeng. Situs-situs penemuan manusia purba ini pernah ditemukan di Gua Coddong Cita yang dimana gua tersebut penah dijadikan tempat berlindung manusia-manusia purba dari badai dan hujan.
2.    Rumah Adat Bugis SAO MARIO Icon Wisata Budaya Soppeng
            Budaya di Kabupaten soppeng sangat terlihat dari rentetan rumah panggung yang memiliki tiang tinggi hingga bahasa keseharian mayarakatnya membuat Kebudayaan bugis itu sangat kental. Sekitar 40Km dari pusat kota soppeng atau kurang lebih 10Km dari objek wisata lejja sebuah area yang luas yang dipenuhi Rumah adapt dari berbagai daeng, Rumah adat Bugis, Rumah Adat makassar, Rumah Adat Toraja, Rumah Adat Mandar semuanya tertata rapi dalam area tersebut. Wisata SAO MARIO yang memanjakan kita kembali kepada jaman kerajaan di kabupaten soppeng. Rumah Adat SAO MARIO juga di jadikan sebagai Musium Kabupaten soppeng benda-benda kerajaan terkumpul disana sehingga masyarakat yang berkunjung dapat mengetahui bagaimana sejarah dan Kebudayaan kabupaten Soppeng.
B.       Kebudayaan Wajo
1.    Danau tempe
     Danau Tempe terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dari Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Dananu Tempe dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau.

Nelayan yang menangkap ikan di tengah danau seluas 13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung, merupakan pemandangan yang sangat menarik. Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap.

Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk Timur pada pagi hari dan terbenam di ufuk Barat pad sore hari. Di tengah danau, kita dapat menyaksikan beragam satwa burung, bungan dan rumput air, serta burung Belibis (Lawase, bahasa Bugis) menyambar ikan-ikan yang muncul di atas permukaan air. Danau Tempe memiliki species ikan air tawar yang jarang ditemui ditempat lain.

Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan ada kaitannya letak danau yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu Australia dan Asia. Di waktu malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung. Bersama nelayan, kita dapat menyaksikan rembulan di malam hari yang menerangi Danau Tempe sambil memancing ikan. Sementara itu, para nelayan menangkap ikan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan penduduk. Tanggal 23 Agustus setiap tahunnya, merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe.

Acara pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau dengan menggelar berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng Berpakai  Baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis).

Acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh lesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya. Lomba perahu dayung merupakan tradisi yang turun temurun dan terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng merupakan bentuk kegiatan ritual yang dilaksanakan di atas Danau Tempe oleh masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe, biasanya ditandai dengan pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan serentetan acara lainnya.

2.                  RUMAH ADAT ATAKKAE

Kawasan budaya Rumah Adat Atakkae terletak di Kelurahan Atakkae, Kecamatan Tempe, di bangun tahun 1995 di pinggir Danau Lampulung, sekitar 3 km sebelah Timur Kota Sengkang. Di dalam kawasan ini telah dibangun puluhan duplikat rumah adat tradisional yang dihimpun dari berbagai kecamatan, sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksanaan pameran.

Di sekitarnya terdapat bangunan sebagai tempat menginap wisatawan, dekat dari danau. Hampir setiap tahunnya, kawasan budaya ini ramai dikunjungi wisatawan, terutama saat digelar berbagai atraksi budaya dan permainan rakyat.

Di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah rumah adat yang lebih besar yang dijuluki Saoraja – istana Tenribali, salah seorang matoa Wajo. Rumah tersebut mempunyai tiang sebanyak 101 buah. Setiap tiang beratnya 2 ton, kayu ulin dari Kalimantan. Tiang itu didirikan dengan menggunakan alat berat (eskavator). Lingkaran tiang rumah 1,45 m dengan garis tengah 0,45 m, dan tinggi tiang dari tanah ke loteng 8,10 m. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 m, lebar 21 m, dan tinggi bubungan 15 m.


3.  ATRAKSI PERNIKAHAN

Atraksi pernikahan dan ritual lainnya dapat disaksikan, yaitu Mappacci, Mappanre Lebbe, dan Mappasilellung Botting. Mappacci merupakan sejenis rangkaian proses dalam pesta perkawinan yang dilaksanakan dengan meletakkan daun pacar (pacci) dari sanak keluarga kepada tangan pengantin sebagai bentuk persucian diri. Mappasilellung Botting dilaksanakan setelah malam usai pesta perkawinan, di mana pengantin pria selalu mengejar pengantin wanitanya, sebagai upaya untuk saling mengakrapkan pengantin
.
4.  DESA TOSARA

Obyek wisata ini terletak sekitar 16 km di sebelah Timur Kota Sengkang. Tepatnya di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tosora adalah daerah bekas ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke-17. Wilayah ini dikelilingi 8 buah danau kecil. Banyak peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang terdapat di sini, misalnya : makam raja-raja Wajo, bekas gudang amunisi kerajaan (geddong), masjid kuno yang dibangun tahun 1621, dan makam yang bernisan meriam. Disini juga terdapat sumur bung parani, tempat prajurit-prajurit tempo dulu dimandikan sebelum terjun ke medan perang.

Banyak wisatawan yang sudah berkunjung ke sini. Motivasi mereka braneka ragam. Di antara mereka, ada yang datang hanya untuk melakukan ziarah. Sebagain yang lain datang untuk melepas hajat atau nazar, dan ada juga yang mengadakan pengkajian sejarah.

5.  GUA NIPPON

Gua Nippon terdapat di pegunungan sebelah Timur Kota Sengkang. Lokasinya tak jauh dari Masjid Raya Sengkang. Pengunjung dapat berjalan kaki menuju lokasi ini, terutama mereka yang senang dengan petualangan.
Gua Nippon berupa terowongan yang dibuat oleh tentara Jepang sebagai tempat persembunyian dan pertahanan pada Perang Dunia ke-2. Jumlahnya tak kurang dari 10 buah, namun saat ini sebagian di antaranya sudah tertutup tanah secara alami.
Di dalam gua itu terdapat ruangan yang sangat luas. Masyarakat setempat meyakini bahwa gua itu sebagai tempat penyimpanan harta karun yang ditinggalkan serdadu Jepang, dan pada masa perang dijadikan sebagai basis pertahanan Asia Selatan.
Mulut gua rata-rata mempunyai garis tengah sekitar 1 meter. Bila pengunjung mau masuk ke dalam gua, mereka harus membungkuk atau merangkak. Ada gua yang jalan masuknya berbeda dengan jalan untuk menuju ke luar. Sebagian diantaranya, jalan masuk dan keluar ke gua tersebut hanya merupakan satu jalur.


 A.Kebudayaan bone
     TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE
Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut.
1.  Madduta Massuro / Lettu
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluatganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:
 a. Mammanu’-manu
Mammanu’-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar.
b.Mappettu Ada

             Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan.
Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio (“pengikat”) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati.
Satu lembar bahan waju tokko
Satu lembar sarung sutera atau lipa’ sabbé, juga disertai dengan;
Satu piring besar nasi ketan (sokko)
Satu mangkok besar palopo’ (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya)
Dua sisir pisang raja.
c.  Aturan kedua pihak untuk persiapan pelaksanaan perkawinan
1. Tanra esso akkalabinéngeng
2. Mappaisseng atau memberi kabar
3.Mattampa / Mappalettu selleng
4.Mappatettong sarapo/ Baruga
5.Mappacci / Tudampenni
d. Akad Nikah /akkalabinengeng
Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun.
e. Upacara Sesudah Akad Nikah
1. Mapparola
Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki.
1.    Marola wekka dua
Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.
3. Ziarah kubur
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.
4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.
D. Kebudayaan Toraja
Kebudayaan Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
1. Makale, Ibu kota Tana Toraja.
Pada asal mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan. Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan buatan lokal.
Suku Toraja masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
            Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga.
Kebudayaan Suku Toraja
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
2.      Kebudayaan Suku Toraja
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
3.       Kebudayaan Suku Toraja
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan. Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman perjanjian baru.
4.      Pesta Adat Mindio Saluran Tallu
Warga masyarakat Desa Pundilemo, khususnya Ba’ka menggelar ritual adat, “Mindio Saluran Tallu”. Artinya, Mandi di Saluran Air yang terbuat dari tiga batang bambu, Selasa (24/2). Ritual kebudayaan ini dihadiri langsung Bupati Enrekang, Ir. Haji La Tinro La Tunrung, camat Cendana, Kepala Bidang Pariwisata dan unsur muspika. Menurut tokoh adat di desa tersebut, ritual semacam ini digelar sekali setahun, yang pelaksanaannya bertepatan hari Selasa akhir pada bulan bulan Safar (bulan Islam). “Acara ini hanya digelar pada setiap hari selasa akhir pada bulan Safar,” kata tokoh adat tersebut.
Sementara, Bupati pada kesempatan itu sangat mengharapkan, agar kelestarian adat istiadat seperti ini tetap dijaga. “Bangsa yang maju ditentukan dengan kebudayaannya yang tetap terjaga kelestariannya,” jelas Bupati.
Pada prosesi adat Mindio Saluran Tallu itu, dimulai dengan Masajo (pembacaan puisi-puisi yang isinya berupa pesan-pesan leluhur”, Menciprakan air yang diambil dari air saluran bambu yang terdiri dari tiga buah, kemudian acara mindio atau mandi di saluran bamboo tersebut.
      Pada acara terakhir ini, Bupati Enrekang bersama para undangan melakukan prosesi mindio. Dilanjutkan masyarakat yang hadir. Selain mandi, masyarakat juga mengambil air dari saluran bambu itu, karena dipercaya mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Selain pesta adat Mindio Saluran Tallu, Dusun Ba’ka juga memiliki gua yang didalamnya tersimpan berbagai macam peninggalan tentara Belanda. Ada mimbar yang terbuat dari batu, dan tengkorak manusia. Bahkan, disebelah goa tersebut, ada makam leluhur yang menyerupai Mumi.
C.Kebudayaan Enrekang
MACCERANG MANURUNG DI KALUPPINI KECAMATAN ENREKANG
Maccerang Manurung adalah salah satu tradisi budaya yang ada di Kabupaten Enrekang. Perhelatan budaya ini diadakan sekali dalam 8 tahun di Desa Kaluppini Kec. Enrekang sekitar 9 km dari Ibukota Kabupaten. Maccerang Manurung banyak dikunjungi orang bukan hanya pengunjung lokal tetapi juga dari luar propinsi bahkan perantau yang pulang dari Malaysia.
           Maccerang Manurung dilaksanakan dengan maksud memohon keselamatan dan rezeki dalam menjalani kehidupan sekarang dan masa yang akan dating. Dalam penyelenggaraan Maccerang Manurung ini ada beberapa ritual atau prosesi yang harus dilalui antara lain :

1.     MAPPABANGUN TANA
Dilakukan di Datte – Datte untuk menghadapi 8 tahun ke depan dengan harapan selamat sentausa menempuh kehidupan yang akan dating supaya rezeki lebih melimpah dari apa yang sudah dilalui :
Urutan Pemangku Adat :
v Tomatua
v Ada’
v Tomakaka
v Bilala
v Katte’
v Indo Guru (Imam)
Hasil Musyawarah Pemangku Adat :
Dipasilatui to taun dibokoi, dipeta’daisi barakka’na to taun diloloi, dipadape dipaliwanni to mane diloloi, lapeta’dai  to kulle lapeta’dai  to dalle’, masapau masagau.Kemudian beras dibuat peong.
2.    MACCE’ DO MANYANG
        Tuak manis yang ada di dalam teko (bamboo) disirakan ke daun pisang sedikit, dan sisanya diminum. Bacaannya sama dengan bacaan ketima ma’jaga (3 bulan).
3.    MA’JAGA BULAN ( 3 bulan lamanya )
       Dimulai 3 bulan sebelum Maccerang Manurung, setiap hari jumat sampai 3 bulan sappe bulan (melihat tanggal berdasarkan penghilatan bintang di langit). Tujuannya (dibaca pada saat ma’jaga) :
“ Kela Malaga – lagai (pelambe), peta’dai to kulle’ peta’dai to kamalagaran, keleppanganna to disesa, kebakkaranna to barang apa kamalagaranna to taun, kemeloronganna to belajen, kemeccollitanna to daun kaju, membunbun mennissi jiong, turuppa to membua jao, kaissipa to salu, bakkapa to barang apa sitambenan baliba’tan, siloronganna to kaju bue, sisokkoan takin dale, sininna na rande tana, sininna na tongko’ langi’”
4.    MA’ PEONG Di BUBUN NASE
Bubun Nase berjarak 200m di lembah sebelum naik ke Datte – Datte.
Ada 4 sumur yaitu :
       1.    Bubun Nase (satu-satunya tempat ma’peong)
       2.    Bubun Kariango
       3.    Bubun Tumea
       4.    Bubun Kajao
Antara sumur yang satu dengan sumur yang lain berjarak ratusan meter. Bacaannya :
“Ku peta’dai barakka’na salama dipugaukki tijio meccerang manurung. “ Ma’ peong dilakukan pada hari jumat pagi ketika maccerang manurung.
5.    MASSO’ Di GANDANG
Setelah shalat jumat, perangkat pelaku adat berangkat dari mesjid ke sapo menuju lapangan Datte-Datte di pelataran mesjid. Setelah itu gandang dikeluarkan dari dalam mesjid untuk dijemur sebentar di atas batu, sehabis shalat jumat barulah gandang diangkat dan digantung oleh Pande Gandang.
Ayam bolong diawa dari sapo, ayam Paso mane disembelih oleh Paso di atas gandang. Setelah disembelih, gandang diso,di (pemukulan 1 gendang) sebagai tanda peresmian pembukaan acara maccerang amnurung.
Gandang Juma’ 3 x , Gandang diji’jo, Baramba Parindi’, Lomba, Buttu Beke dan Gandang Siala. Setelah itu bubar.
6.    LIANG WAI
Pada hari minggu pagi Liang Wai dibuka. Diadakan acara Ma’ Peong di lapangan Liang dengan menyembelih satu ekor ayam hitam.
7.    SIPALLOLONGAN / TUDANG ADA’ ( Pada Malam Senin )
Para pemangku adat turun dikolong rumah adat ( sullung ) untuk makkelong osong sekitar jam 12 malam. Setelah itu botting ada’ laki-laki ( semua pemangku adat beserta istrinya ) dengan menggunakan baju adat dan baju tokko, selanjutnya menuju Datte – Datte untuk sSumajo.
  8.  MATALUNNA
3 hari setelah hari senin ( hari terakhir acara Maccera Manurung ) yakni hari kamis (berdasarkan kelender tahun 2006 pada saat diadakan Pesta Adat Maccera Manurung 8 tahun) kepala kerbau (tedong peppalitan) dimasak yang biasa disebut ma’jaga puli bota atau penutup. Pada acara ini gendang dimasukkan kembali ke dalam mesjid, dan secara keseluruhan acara selesai.
10.    MASSIMA’TANA
7 hari setelah hari senin (hari teakhir acara Maccera Manurung) atau senin berikutnya diadakana ma’peong di Palli.
Ada 9 keturunan langsung Tomanurung yaitu :
1.    Torro di Palli
2.    Torro di Timojong
3.    Torro di Lalikan
4.    Torro di Wajo
5.    Inja di Bone
6.    Inja Di Luwu
7.    Inja di Mandar
8.    Inja di Karasa
9.    Inja di Malepong Bulan Tana Toraja
MAPPARATU TA’KA
Yaitu Maccerang Manurung yang dilaksanakan setiap tahun di liang dengan prosesi yang sama pada acara Maccera Manurung untuk 8 tahun. Pada hari minggu dilakukan prosesi untuk meminta obat ( meta’da’ pejappi ), tetapi untuk Maccera Manurung yang diadakan setiap tahun ( mammaratu ta’ka) dilakukan pada hari senin.
Pesta adat Maccerang Manurung yang dilakukan setiap tahun ( tahun Bo’bo ) memiliki rangkaian acara :
1.    Massima’ Tana Ma’peong di Batu Battoa
2.    Mapatarakka Banne di Datte – Datte
3.    Meta’da wai di bulung (sebuah sumber mata air)
4.    Ma’tunung ( Ma’peong ) di Batu Battoa
5.    Meta’da Pejappi di Liang
6.    Meta’da kasawean di batu Battoa di Kajao
7.    Masalli’ Babangan
8.    Mappammula Rangnganan
9.    Mapparatu Ta’ka
SAPO BATTOA
Rumah Adat yang berdiri di belakang mesjid. Mempunyai 5 petak/lontang dan 33 tiang. Di atas rumah terdapat kandawari (stage) tempat raja, tambing (tempat Rakyat) dan pelataran bawah. Jadi ada 3 tingkatan. Rumah ini adalah tempat bermusyawarah apapun yang akan dilakukan di Desa  Kaluppini. Tambing adalah tempat dalam sebuah rumah yang membedakan rumah adat ini dengan daerah lain di Sulawesi Selatan. Sapo Battoa mempunyai tempat tersendiri yang disebut Pa’nenean dengan tinggi 50 m, panjang 2 m dan lebar 3 m.
GANDANG
Gendang ini disimpan dalam mesjid. Nanti dikeluarkan bila ada acara Maccerang Manurung. Gendang dijemur dibatu ( menurut masyarakat setempat batu inia adalah tempat menghilangnya 9 bersaudara Tomanurung sehingga jumlah batunya pun Sembilan. Batu ini berada di sisi kanan mesjid. Gendang ini mempunyai pasak 42 kali 6 lingkaran, terbuat dari kayu cena’ duri dan kulit kerbau (belulang). Kulit kerbau ini diganti 1 x 8 tahun.
DATTE – DATTE
Lokasi date-datte sekitar 700 m dari jalan raya di atas gunung tempatnya di depan mesjid. Lebarnya 14 m x panjang 14 m. tempat Masso’di Gandang 6 x 3 m. Dibawah pohon beringin adalah tempat membagi makanan setelah dimasak pada hari pelaksanaan Maccerang Manurung. 20 m setelah lokasi date- date (jalan menuju ke mesjid) ditandai dengan batu besar adalah tempat yang menjadi batas lokasi di mana orang yang tidak boleh merokok. 17 m di depan sapo (rumah adat) adalah lokasi penyembelihan Tedong Peppalitan yang dikunjungi oleh ribuan orang untuk melihat prosesi penyembelihan. Rumah adat dijaga oleh Saiba. Tedong Peppalitan dimasak tanpa garam di sebuah tempat (rumah beratap) di depan Sapo Battoa. Adapun yang menjadi pelaksana Maccerang Manurung adalah Tomakaka dan Paso. Di samping lokasi Datte – Datte tersedia tempat duduk Sembilan bersaudara (batu yang dikeramatkan) yang diberi janur kuning di atasnya dan pada saat Maccera Manurung tidak boleh diduduki orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar