Mata Kuliah :
Promosi Kesehatan
Dosen : Sulasmi, SKM,.M.Kes
PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
DI PUSKESMAS MEDAN JOHOR
KOTA MEDAN TAHUN 2009
Disusun
Oleh:
NURUL
FAHMI PO.71.4.221.13.2.038
IRHAM
HASBI PO.71.4.221.13.2.026
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI D.IV
2016
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur atas kehadirat Allah swt. Yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tugas PROMOSI KESEHATAN dengan judul “Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Medan Johor Kota Medan Tahun 2009 ” ini dapat selesai dengan tepat waktu. Terwujudnya tugas ini, tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Puji syukur atas kehadirat Allah swt. Yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tugas PROMOSI KESEHATAN dengan judul “Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas Medan Johor Kota Medan Tahun 2009 ” ini dapat selesai dengan tepat waktu. Terwujudnya tugas ini, tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Ibu
Sulasmi, SKM.,M.Kes
selaku dosen pengampu pada mata kuliah promosi kesehatan yang telah memberikan ilmu dan sumbangsinya dalam menyusun tugas ini.
2.
Bapak
dan Ibu tercinta yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik moral maupun
spiritual.
3.
Teman-teman
yang tercinta yang telah sabar untuk meluangkan waktunya untuk berdiskusi dalam
menyusun makalah ini.
4.
Dan
semua pihak yang telah membantu dalam
menyusun makalah ini.
Dalam tugas ini terdapat beberapa pembahasan
materi mengenai Perilaku “Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Puskesmas
Medan Johor Kota Medan Tahun 2009”. Namun dalam penyusunannya masih
terdapat banyak kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun diharapkan penulis dari semua pihak, agar kedepannya lebih baik lagi
dalam menyusun tugas ini.
Akhir
kata semoga tugas
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik itu
penulis terlebih kepada pembacanya.
Wasallam
Makassar, April 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .............................................................................................. 1
B.
Tujuan ........................................................................................................... 5
C.
Manfaat ......................................................................................................... 5
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD).................................................. 6
B.
Faktor yang
mempengaruhi penularan DBD ............................................... 8
C.
Upaya
pencegahan DBD............................................................................... 9
D.
Pemberantasan vektor ................................................................................. 11
E.
Prilaku .......................................................................................................... 12
BAB
II METODE PENELITIAN
A.
Jenis
penelitian .............................................................................................. 18
B.
Lokasi dan
waktu penelitian........................................................................... 18
C.
Pemilihan
informan penelitian ....................................................................... 18
D.
Metode
pengumpulan data ........................................................................... 19
E.
Metode
pengolahan dan analisis data ........................................................... 21
BAB
II HASIL DAN PEMBAHASAN
............................................................. 22
A.
Pengetahuan keluarga dalam pencegahan DBD ......................................... 22
B.
Sikap keluarga dalam pencegahan DBD...................................................... 23
C.
Tindakan
keluarga dalam pencegahan DBD................................................ 23
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... 29
B. Saran
............................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Mengkaji perilaku masyarakat dalam pencegahan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), karena rantai penularan penyakit DBD
mempunyai hubungan dengan perilaku bersih dan sehat yang belum terwujud di
masyarakat. Keberhasilan pemutusan rantai penularan penyakit DBD sangat erat
kaitannya dengan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk mau menjaga
kebersihan rumah dan lingkungannya.
Alasan yang melatarbelakangi pengkajian
perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD salah satunya yaitu penyakit
demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat
menyerang semua orang, mengakibatkan kesakitan dan kematian, terutama pada
anak-anak, dan juga dapat menjadi suatu wabah bahkan Kejadian Luar Biasa (KLB)
(Soegijanto, 2006: 39). KLB artinya jumlah kasus sudah dua kali lipat atau
lebih ditempat yang sama pada kurun waktu yang sama pada tahun dan bulan
sebelumnya atau angka kematiannya lebih dari 1% (Depkes RI, 2005; Koban, 2005: 4).
Pencegahan berkembangnya nyamuk Aedes aegypti
sebagai penular DBD menjadi mutlak dilakukan karena vaksin yang efektif
terhadap DBD sampai saat ini belum tersedia. Pengobatan yang dilakukan hanya
untuk mengurangi gejala sakit dan mengurangi
risiko kematian. Penanggulangan DBD secara umum ditujukan kepada pemberantasan
rantai penularan dengan memusnahkan pembawa virusnya (vektor) yaitu nyamuk
Aedes aegypti, dengan memberantas sarang perkembangbiakannya yang umumnya
ada di air bersih
yang tergenang di
permukaan tanah maupun
di tempat-tempat penampungan air (Soedarmo, 2005: 56).
Mengingat tempat hidup (habitat) nyamuk Aedes
aegypti adalah pada tempat- tempat yang terdapat air bersih, maka orang yang
menjaga kebersihan lingkungan masih mungkin terkena DBD. Oleh karena itu
program pemberantasan DBD tidak cukup hanya dengan menjaga kebersihan
lingkungan, tetapi harus menghindari keberadaan jentik di tempat air yang
bersih, misalnya menguras bak mandi setiap 1 minggu sekali. Hal ini dilakukan
mengingat kehidupan nyamuk Aedes aegypti diketahui siklus hidupnya selama
bertelur hingga menetas 10 sampai 14 hari. Dengan menguras bak mandi 1 minggu
sekali tidak memberi kesempatan Aedes aegypti untuk bertelur sehingga dapat
menghilangkan tempat perindukannya.
Menurut
WHO antara tahun
1975-1996 DBD terdeteksi
keberadaannya di wilayah Amerika,
Eropa Selatan, Afrika Utara, Afrika Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur,
Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik Selatan dan Tengah
serta Karibia (WHO, 1999: 1). Tetapi sekarang daerah endemik DBD banyak
terdapat di Asia (Thailand, Filipina, Kamboja, Malaysia, Singapura, Cina),
karena musim epidemik terjadi disaat musim hujan yang hampir setiap tahun
terjadi. Epidemik artinya
keadaan dimana suatu
masalah kesehatan (umumnya penyakit)
yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam
frekuensi (jumlah) yang meningkat (Soegijanto, 2006: 5).
Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di
Surabaya dan Jakarta, angka kejadian penyakit DBD meningkat dari 0,05 per
100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000
penduduk pada tahun 1998. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan
a) perubahan iklim dan kelembapan nisbi; b) terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan atau jarang
ditemukan infeksi virus Dengue ke daerah
endemis penyakit infeksi
virus Dengue atau
dari pedesaan ke perkotaan; meningkatnya kantong-kantong jentik nyamuk
Aedes aegypti di perkotaan terutama daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu
(Soegijanto, 2006: 25). Akibat
peningkatan kejadian penyakit DBD tersebut maka Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL)
Departemen Kesehatan RI melakukan penanggulangan wabah
meliputi:
Penyelidikan epidemiologis, yaitu melakukan
penyelidikan untuk mengenal sifat- sifat penyebabnya serta faktor yang dapat
menimbulkan wabah, 2) pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan
isolasi penderita termasuk
tindakan karantina, pencegahan dan pengobatan yaitu tindakan yang
dilakukan untuk memberikan kepada
mereka yang belum
sakit tetapi mempunyai
risiko terkena penyakit, penyuluhan
kepada masyarakat (Depkes RI, 2005: 1).
Di Propinsi Sumatera Utara kasus DBD tiap
tahun terjadi. Data tahun 2003- 2007 menunjukkan bahwa IR (Incidence Rate) 7,92-30,75 per 100.000 penduduk dan CFR (Case Fatality Rate) 0,91%-2,44%.
Selama kurun waktu lima tahun tersebut terdapat
beberapa Kabupaten/Kota (Medan, Deli Serdang, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang
Siantar, Simalungun) yang dinyatakan daerah endemis DBD di mana kabupaten/kota
tersebut merupakan wilayah yang dalam 3 tahun terakhir, setiap tahun ada
penderita DBD (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008).
Penyebaran DBD yang cukup luas di Indonesia
dan beberapa daerah Sumatera Utara termasuk Kota Medan, dikarenakan adanya
faktor-faktor yang mendukung terjadinya penyebaran, seperti kondisi geografis
atau ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, dan musim;
juga kondisi demografis, seperti kepadatan penduduk, mobilitas masyarakat yang
cukup tinggi, serta perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah
(Soegijanto, 2006:11).
Penyebaran penyakit DBD secara pesat
dikarenakan virus dengue semakin mudah menulari lebih banyak manusia karena
didukung oleh: 1) meningkatnya mobilitas penduduk karena semakin baiknya sarana
transportasi di dalam kota maupun antar daerah, 2) kebiasaan masyarakat
menampung air bersih untuk keperluan
sehari-hari, apalagi penyediaan air bersih belum mencukupi kebutuhan atau
sumber yang terbatas dan letaknya jauh dari pemukiman mendorong masyarakat
menampung air di rumah
masing-masing (karena nyamuk
Aedes aegypti hidup
di dalam air bersih), 3) sikap dan pengetahuan masyarakat tentang
pencegahan penyakit yang masih kurang (Soedarmo, 2005: 16).
Upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
telah dilakukan oleh pemerintah terutama Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan
memiliki program pencegahan dan penanggulangan DBD,
seperti: 1) pertolongan
pertama pada penderita
DBD, dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit; 2) penyuluhan terus-menerus ke
masyarakat; 3) fogging atau
pengasapan pada rumah penderita DBD; 4) penaburan bubuk abate pada
tempat-tempat penampungan air; 5) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara bergotong royong dan
melibatkan masyarakat. Namun, upaya yang telah dilakukan tersebut sampai saat
ini belum dapat merubah status beberapa daerah dari daerah endemis menjadi
daerah non endemis (Dinkes Kota Medan, 2006).
Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan DBD
sangatlah diperlukan karena sangatlah mustahil dapat memutus rantai penularan
jika masyarakat tidak terlibat sama sekali. Peran serta masyarakat ini dapat
berwujud pelaksanaan kegiatan ë3Mà (menutup wadah-wadah penampungan air,
mengubur atau membakar barang-barang bekas yang menjadi sarang nyamuk, dan
menguras atau mengganti air di tempat tampungan air) di sekitar rumah dan
melaksanakan PSN pada lingkungannya (Koban, 2005: 9).
Ketidakberhasilan pemberantasan DBD secara
menyeluruh dapat terjadi dikarenakan tidak semua masyarakat melakukan upaya
pemberantasan vektor penular DBD, pemberantasan sarang nyamuk tidak mungkin
dapat tuntas dilakukan bila anggota masyarakat sampai ke lingkungan yang
terkecil yaitu rumah tangga tidak mau melakukannya (Nadesul, 2004; Koban, 2005: 11).
Penelitian perilaku masyarakat dalam
pencegahan penyakit DBD dilakukan di
wilayah kerja Puskesmas Medan Johor. Kecamatan Medan Johor sebagai wilayah
kerja Puskesmas Medan Johor merupakan
salah satu wilayah
di Kota Medan yang setiap tahun terjadi kasus DBD (merupakan
salah satu kecamatan yang endemis DBD).
Dari data program surveilance penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor
tahun 2007, diketahui jumlah kasus demam berdarah sebanyak 71 kasus yang
tersebar di 3 kelurahan, yaitu di Kelurahan Kwala Bekala sebanyak 24 kasus
(33,8%), Kelurahan Gedung Johor sebanyak 15 kasus (21,1%), serta Kelurahan
Pangkalan Mashyur sebanyak 32 kasus (45,1%) (Laporan Kegiatan Puskesmas Medan Johor, 2007). Hal ini menunjukkan
tingginya kasus DBD untuk masing- masing kelurahan tersebut, padahal program
pencegahan DBD telah dilaksanakan oleh petugas kesehatan yang ada. Sampai
dikembangkan sebuah metode promosi kesehatan yang bertujuan meningkatkan
partisipasi masyarakat secara aktif dalam pemberantasan penyakit DBD di sekitar
tempat tinggalnya (Laporan Kegiatan Puskesmas Medan Johor, 2007).
Peningkatan partisipasi masyarakat adalah
suatu proses di mana individu, keluarga, dan masyarakat dilibatkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di rumahnya. Peningkatan
partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh
anggota masyarakat untuk secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes
RI, 2005: 1).
Perilaku masyarakat sangat erat kaitannya
dengan kualitas kegiatan pencegahan penyakit DBD. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian yang dapat mengeksplor perilaku masyarakat dalam
pencegahan penyakit DBD, terutama sekali di wilayah kerja Puskesmas Medan Johor
yang teridentifikasi sebagai
wilayah endemik DBD Kota Medan.
B. Tujuan
Untuk mengetahui perilaku keluarga dalam pencegahan
penyakit demam berdarah dengue di wilayah pelayanan Puskesmas Medan Johor Kota
Medan.
C. Manfaat
1.
Bagi
Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai masukan untuk menyusun strategi
pencegahan dan penanggulangan kasus penyakit DBD baik di desa/kelurahan endemis maupun
di wilayah kerja secara keseluruhan.
2.
Bagi
Puskesmas Medan Johor sebagai masukan untuk meningkatkan kegiatan promosi
kesehatan sebagai upaya menurunkan kasus penyakit DBD di masyarakat.
3.
Bagi
masyarakat sebagai bahan informasi menambah pengetahuan tentang pencegahan
penyakit DBD melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di lingkungan
tempat tinggal.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Pengertian DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan
oleh nyamuk Aedes aegypti yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas,
lemah atau lesu, gelisah, nyeri
ulu hati, disertai
dengan tanda-tanda perdarahan
di kulit berupa bintik perdarahan (petechia),
ruam (purpura). Kadang-kadang
mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun dan bertendensi
menimbulkan renjatan (syok) dan
kematian (Mubin, 2005: 8).
2. Tanda-Tanda Penyakit DBD
Pada hari pertama sakit,
penderita panas mendadak secara terus-menerus dan badan terasa lemah atau lesu.
Pada hari kedua atau ketiga akan timbul bintik-bintik perdarahan, lembam atau
ruam pada kulit di muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu hati serta
kadang-kadang mimisan, berak darah atau muntah. Antara hari ketiga sampai
ketujuh, panas turun secara tiba-tiba. Kemungkinan yang selanjutnya adalah
penderita sembuh atau keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung
tangan dan kaki dingin dan banyak mengeluarkan keringat. Bila keadaan
berlanjut, akan terjadi renjatan (lemah lunglai, denyut nadi lemah atau tidak
teraba). Kadang- kadang kesadarannya menurun (Mubin, 2005: 8).
Pembesaran hati
(hepatomegali) pada umumnya
dapat ditemukan di permulaan
penyakit. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan berat penyakit. Biasanya
nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Trombositopeni yaitu
jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 biasanya ditemukan diantara hari ketiga sampai
ketujuh sakit (Soedarmo, 2005: 44).
3. Vektor Penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes
albopictus merupakan vektor
penularan virus Dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitan.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan faktor
penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan di daerah pedesaan (daerah
rural) kedua jenis spesies nyamuk Aedes tersebut berperan
dalam penularan. Nyamuk
Aedes aegypti
berkembangbiak di tempat
lembab dan genangan air bersih. Sedangkan Aedes
albopictus berkembangbiak di lubang-lubang pohon dalam potongan bambu,
dalam lipatan daun dan dalam genangan air lainnya (Soedarmo, 2005: 18).
Tempat perkembangbiakan
utama adalah tempat-tempat
penyimpanan air di dalam atau di sekitar rumah, atau di
tempat-tempat umum, biasanya berjarak tidak lebih 500 meter dari rumah. Nyamuk
ini tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang berhubungan langsung dengan
tanah (Soedarmo, 2005: 21).
Jenis-jenis tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Tempat
Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki air, tempayan, bak mandi/WC, ember dan lain-lain.
b.
Tempat
penampungan Air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung,
vas bunga, dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
c.
Tempat
penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, potongan bambu dan lain-lain.
4. Penularan Penyakit DBD
Seseorang yang di dalam darahnya
mengandung virus Dengue merupakan sumber penular penyakit DBD. Virus Dengue
berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita
tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap
masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan
tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk dalam kelenjar liurnya
(Depkes RI, 2005: 2).
Virus Dengue di dalam tubuh
manusia mengalami masa inkubasi selama 4-7 hari (viremia) yang disebut dengan
masa inkubasi intrinsik. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang setelah 4-7
hari kemudian nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain yang disebut masa
inkubasi ekstrinsik. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes
aegypti yang menghisap virus Dengue ini menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan terjadi
karena setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan mengeluarkan
air liur melalui saluran alat tusuknya (probocis), agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama air
liur itulah virus
Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Nyamuk Aedes aegypti betina umurnya dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI,
2005: 2).
B. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penularan Penyakit DBD
1. Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat
interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang diperhatikan di lingkungan yang berkaitan
dengan vektor penularan DBD antara lain:
a. Sumber air yang digunakan
Air yang digunakan dan tidak
berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat perindukan yang potensial
bagi vektor DBD.
b.
Kualitas
Tempat Penampungan Air (TPA)
Tempat
penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya DBD
dibandingkan dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik.
c.
Kebersihan lingkungan
Kebersihan
lingkungan dari kaleng/ban bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan
faktor terbesar terjadinya DBD (Soegijanto, 2006: 247).
2. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
Analisis dari Green yang dikutip
Notoatmodjo (2007: 178) menyatakan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor
pokok yaitu, faktor perilaku (behaviour causes)
dan faktor non
perilaku (non behaviour causes).
Sedangkan perilaku itu sendiri, khusus perilaku kesehatan dipengaruhi atau
ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yakni:
a.
Faktor-faktor
predisposisi (predisposing factor),
yaitu terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai
dan sebagainya dari seseorang.
b.
Faktor-faktor
pendukung (enabling factor) yang
terwujud dalam lingkungan fisik.
c.
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya termasuk di
dalamnya keluarga dan teman sebaya.
Green
kemudian
berkesimpulan bahwa setiap perilaku kesehatan dapat dilihat sebagai fungsi dari
pengaruh kolektif ketiga faktor. Gagasan penyebab kolektif itu penting terutama
karena perilaku merupakan suatu fenomena yang majemuk.
C. Upaya
Pencegahan DBD
1.
Partisipasi Masyarakat
Upaya
masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara individu atau
perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik
adalah pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan ialah (a)
menggunakan mosquito repellent (anti
nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray, (b) menuangkan air panas pada
saat bak mandi berisi air sedikit, (c) memberikan cahaya matahari langsung
lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005:
59).
Peningkatan
partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga, dan
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di
rumahnya. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang
memungkinkan seluruh anggota masyarakat secara aktif berkontribusi dalam
pembangunan (Depkes RI, 2005: 1).
Partisipasi
masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti
keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan
mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005: 124).
Peningkatan
partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan perhatian dan
kepedulian kepada masyarakat, memprakarsai dialog lintas sektoral secara
berkelanjutan, menciptakan rasa memiliki terhadap program yang sedang berjalan,
penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat suatu mekanisme yang
mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005: 1).
Partisipasi
masyarakat dalam tingkat individu dapat dilakukan dengan mendorong atau
menganjurkan dalam kegiatan PSN dan perlindungan diri secara memadai.
Pelaksanaan kampanye kebersihan yang intensif dengan berbagai cara merupakan
upaya di tingkat masyarakat. Memperkenalkan program pemberantasan DBD pada anak
sekolah dan orang tua, mengajak sektor swasta dalam program pemberantasan virus
dengue, menggabungkan kegiatan pemberantasan berbagai jenis penyakit yang
disebabkan serangga dengan program pemberantasan DBD agar memperoleh hasil
yang maksimal. Selain
itu peran partisipasi
masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif
seperti pemberian kelambu atau bubuk abate secara gratis bagi yang berperan
aktif (Soegijanto, 2006:7).
2. Kebijakan Pemerintah
Bila dilihat dari aspek sistem
kebijakan dalam peningkatan derajat kesehatan melalui pemberantasan penyakit
DBD maka ada tiga elemen, bahkan ada empat elemen yang mencakup hubungan timbal
balik dan mempunyai andil di dalam kebijakan karena memang mempengaruhi dan
saling dipengaruhi oleh suatu keputusan
(Koban, 2005: 9).
Adapun
elemen tersebut antara lain adalah:
a.
Kebijakan
publik (Undang-Undang/Peraturan, Keputusan yang dibuat oleh Badan dan Pejabat Pemerintah).
b.
Pelaku
kebijakan (kelompok warga negara, partai politik, agen-agen pemerintah,
pemimpin terpilih).
c.
Lingkungan
kebijakan (geografi, budaya, politik, struktural sosial dan ekonomi).
d.
Sasaran
kebijakan (masyarakat).
D. Pemberantasan Vektor
Pemberantasan vektor dapat
dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Menurut Soedamo (2005: 60)
jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penularan DBD meliputi:
1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk
dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan/fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan
nyamuk yang hinggap pada benda-benda tergantung, karena itu tidak dilakukan
penyemprotan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular
malaria. Insektisida yang dapat digunakan adalah insektisida golongan organophosphat,
misalnya malathion, fenitrothion, dan pyretroid, sintetik misalnya lambda
sihalotrin dan permetin (Soedamo, 2005: 60).
Penyemprotan insektisida ini
dalam waktu singkat dapat membatasi
penularan, akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan
jentiknya agar populasi nyamuk penular tetap
dapat ditekan serendah-rendahnya. Sehingga apabila ada penderita DBD tidak
dapat menular kepada orang lain (Soedamo, 2005: 61).
2. Pemberantasan Larva (Jentik)
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan
istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara (Depkes RI,
2005: 14):
a. Kimia, yaitu dengan cara memberantas
jentik Aedes aegypti dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Ini dikenal dengan istilah
larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis
yang digunakan 1 ppm atau 10 gr ( 1
sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golonga insect growth regulator.
b. Biologi, yaitu dengan memelihara ikan
pemakan larva yaitu ikan nila merah (Oreochromosis
niloticus gambusia sp.), ikan guppy (Poecillia
reticulata), dan ikan grass carp (Etenopharyngodonidla).
Selain itu dapat digunakan pula Bacillus
Thuringiensis var Israeliensis (BTI) atau golongan insect growth regulator.
c. Fisik, yaitu dengan kegiatan 3M
(Menguras, Menutup, Mengubur). Menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat
penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dll), mengubur atau memusnahkan
barang-barang bekas (kaleng, ban dll). Pengurasan tempat-tempat penampungan
air perlu dilakukan
secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar
nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.
Apabila PSN ini dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat maka diharapkan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikurangi sehingga tidak menyebabkan penularan penyakit.
Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka
waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat dengan
perilaku masyarakat (Depkes RI, 2005: 14).
E. Perilaku
Perilaku adalah suatu reaksi
psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari batasan dapat diuraikan bahwa
reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk, yang pada hakekatnya digolongkan
menjadi 2, yaitu bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkret) dan dalam
bentuk aktif dengan tindakan nyata atau (konkret) (Notoatmodjo, 2007: 139).
Perilaku adalah keteraturan
tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konasi)
seseorang terhadap suatu
aspek di lingkungan sekitarnya. Dalam pengertian umum perilaku adalah segala
perbuatan tindakan yang dilakukan makhluk hidup. Perilaku adalah suatu aksi dan
reaksi suatu organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku
baru berwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang
disebut rangsangan.
Dengan demikian suatu rangsangan
tentu akan menimbulkan perilaku tertentu pula (Azwar, 2003: 5, 9).
Proses pembentukan dan atau
perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari diri
individu itu sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi,
emosi dan belajar. Susunan syaraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku
manusia, karena perilaku merupakan perpindahan dari rangsangan yang masuk ke
respon yang dihasilkan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan syaraf pusat
dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi dalam
impuls-impuls syaraf. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra
pendengaran, penciuman dan sebagainya (Azwar, 2003: 10).
Menurut ilmu sosiologi, perilaku
manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Sesuai dengan batasan perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai
segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya
yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang
berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 2007: 1).
Sementara itu ilmu antropologi
menyatakan perilaku merupakan ganjaran dari perilaku atau tingkah laku yang
tidak disukai, sehingga ancaman dari penyakit tersebut memainkan peranan
penting dalam masyarakat untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada. Dengan
demikian perilaku yang menyimpang dari
pola-pola umum yang berlaku dalam hubungan antar pribadi, baik antara sesama
manusia atau antara manusia dengan makhluk lain (Anderson, 2006: 54).
1. Definisi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007: 140),
perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir bersikap
dan sebagainya) untuk memberikan respons terhadap situasi di luar subjek.
Perilaku dapat dijabarkan dalam tiga bentuk operasional, yaitu:
a.
Perilaku
dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui reaksi atau rangsangan dari luar.
Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan (pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba). Secara umum
sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut
terjadi beberapa proses sebagai berikut:
1)
Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan
mengetahui adanya stimulus.
2)
Interest, mulai tertarik kepada stimulus.
3)
Evaluation, menimbang-nimbang/mengevaluasi baik
tidaknya stimulus tersebut terhadap dirinya.
4)
Trial, mencoba perilaku baru.
5)
Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
b. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu
tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri subjek,
sehingga alam itu sendiri akan mencetak sendiri perilaku manusia yang ada di
dalamnya sesuai dengan sifat dan keadaan alam tersebut.
Sikap adalah reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Manifestasi dari
sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007: 144). Tingkatan sikap
adalah:
1)
Receiving (Menerima), seseorang (subject) mau
dan memperhatikan stimulus yang diberikan (object).
2) Responding
(Merespon),
merespon/mengerjakan tugas yang diberikan.
3)
Valuing (Menghargai), mengajak orang lain untuk mengerjakan/
mendiskusikan sesuatu masalah.
4) Responsible
(Bertanggung-jawab),
bertanggung-jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya walau apapun risiko dan tantangannya.
c.
Perilaku
dalam bentuk tindakan yang konkrit, yaitu berupa perbuatan terhadap situasi dan
rangsangan dari luar.
Menurut Notoatmodjo
(2007: 145) tindakan adalah sesuatu yang dilakukan; perbuatan. Tindakan terdiri
dari empat tingkatan yaitu:
1)
Perception (Persepsi), mengenal dan memilih
berbagai object sehubungan dengan tindakan yang akan diambil Guided response (Respon terpimpin), melakukan sesuatu
sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh.
2)
Mechanism (Mekanisme), apabila seseorang telah
dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan.
3)
Adoption (Adopsi), suatu praktek atau tindakan
yang sudah berkembang dengan baik. Tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan.
Perilaku manusia merupakan refleksi dari
berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan,
emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun demikian pada
realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan
perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan ditentukan
atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain diantaranya adalah pengalaman,
keyakinan, sarana fisik, sosio budaya masyarakat (Notoatmodjo, 2007: 177).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007: 139),
ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan,
yaitu:
a.
Latar Belakang
Latar belakang
yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dibedakan atas:
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki dan nilai-nilai
yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial budaya yang berlaku.
b. Kepercayaan dan Kesiapan Mental
Perilaku seseorang dalam bidang
kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan serta
kesiapan mental yang dipunyai. Kepercayaan tersebut setidak-tidaknya menjadi
manfaat yang akan diperoleh, kerugian yang didapat, hambatan yang diterima
serta kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit.
c.
Sarana
Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting
dalam munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun positifnya
latar belakang, kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki tetapi jika
sarana kesehatan tidak tersedia tentu perilaku kesehatan tidak akan muncul.
d.
Faktor Pencetus
Dalam bidang
kesehatan peranan faktor pencetus cukup besar untuk memunculkan perilaku
kesehatan yang diinginkan. Seringkali dijumpai seseorang baru berperilaku kesehatan tertentu bila sudah ada
masalah kesehatan sebagai pencetus, seperti penyakit kulit.
3. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku berarti
individu mulai menerapkan sesuatu yang baru (innovasi), lain daripada yang
sebelumnya. Tetapi merubah perilaku seseorang agar mau menerima sesuatu yang
baru bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, karena menyangkut suatu proses
yang terjadi dalam diri individu itu sendiri
maupun dalam masyarakat. Perubahan
perilaku yang diharapkan adalah sebagai perubahan perilaku yang melembaga atau
lestari serta merupakan bahagian dari hidupnya.
Menurut Notoatmodjo (2007: 188),
ada berbagai macam perubahan perilaku masyarakat, yaitu:
a.
Perubahan
Alamiah (Natural Change): Perubahan
itu sendiri disebabkan oleh kejadian yang alamiah.
b.
Perubahan
Terencana (Plannied Change):
Perubahan itu terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
c.
Kesediaan
untuk Berubah (Readdiness to Change):
Sebahagian orang sangat cepat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut, tetapi sebahagian orang lagi sangat
lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan
setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.
4. Perubahan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
Jika menelaah dari ketiga faktor
tersebut maka nampak proses perubahan perilaku sangat berhubungan dengan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Kepercayaan terhadap kesehatan dengan
dimensi pembentukan (determinant) adalah
pengetahuan dan sikap. Kedua dimensi ini berkaitan erat dengan karakteristik
demografis individu.
b. Kemampuan mendapatkan informasi,
kemudahan mendapatkan pelayanan serta ketersediaan alat dan bahan dalam
melakukan pencegahan.
Pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang
mengetahui tentang tanda/ gejala,
cara penularan dan
pencegahan penyakit DBD
mempunyai risiko terkena penyakit
DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai gejala/tanda, cara
penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD perlu mendapat perhatian utama agar
masyarakat lebih berperan aktif
(Sarwono, 2007: 66).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan
adalah penelitian kualitatif, dengan metode pendekatan fenomenologi yaitu suatu
pendekatan untuk melihat bahwa kenyataan bukanlah seperti apa yang tampak,
tetapi kenyataan ada di masing-masing kepala individu. Pendekatan fenomenologi
akan membantu untuk memasuki sudut pandang orang lain, dan berupaya memahami
bagaimana mereka menjalani hidupnya dengan cara tertentu, serta pemahaman bahwa
realitas masing-masing individu itu berbeda. Penggunaan pendekatan ini untuk
dapat menggambarkan pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga, sesuai dengan
sudut pandang keluarga, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga untuk
berperilaku dalam upaya mencegah penyakit DBD.
B. Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kerja Puskesmas
Medan Johor Kota Medan, yang meliputi 3 kelurahan, yaitu Kelurahan Kwala
Bekala, Kelurahan Gedung Johor dan Kelurahan Pangkalan Mashyur. Namun, dari 3
kelurahan tersebut maka subjek penelitian lebih banyak diambil dari Kelurahan
Pangkalan Mashyur. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini dikarenakan saya
sangat memahami lokasi ini, sehingga akan memudahkan dalam melakukan wawancara
dan pengamatan terhadap perilaku informan dalam upaya pencegahan penyakit
DBD. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2009.
C. Pemilihan
Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah warga masyarakat yang
dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan yaitu
keluarga/rumah tangga, meliputi ayah,
ibu dan anak-anak yang tinggal dalam satu keluarga yang sudah atau belum pernah menderita DBD serta
bersedia menjadi informan penelitian. Informan selanjutnya adalah kepala
lingkungan atau petugas kesehatan yang terlibat secara langsung dalam program
pencegahan penyakit DBD.
Keluarga yang menjadi subjek penelitian ada sebanyak
6 (enam) keluarga yang diambil dari lingkungan yang berbeda di Kelurahan
Pangkalan Mashyur. Penelitian kualitatif menuntut suatu penggalian informasi
yang mendalam berkaitan dengan objek atau permasalahan penelitian, oleh sebab
itu tidak memungkinkan untuk mengambil
subjek penelitian dengan jumlah banyak.
Dari keenam keluarga sebagai subjek penelitian ini,
maka ada tiga keluarga yang salah satu anggota keluarganya pernah menderita
penyakit DBD, dan tiga keluarga lagi belum pernah anggota keluarganya menderita
penyakit DBD. Namun, perbandingan yang sama untuk jumlah keluarga yang pernah
menderita penyakit DBD dan tidak pernah menderita penyakit DBD, bukanlah
sebagai upaya untuk membandingkan perilaku-perilaku keluarga dalam pencegahan
penyakit DBD, tetapi hanya untuk melihat gambaran perilaku-perilaku keluarga
dalam pencegahan DBD.
D. Metode
Pengumpulan Data
Untuk data primer, maka metode
pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan
tentang perilaku keluarga terhadap
pencegahan DBD dan pengamatan (observasi)
pada keadaan/situasi rumah dan lingkungan sekitarnya. Wawancara dan pengamatan
dilakukan langsung di lokasi tempat tinggal
informan.
Pelaksanaan wawancara dilakukan
beberapa kali agar data yang terkumpul dapat menggambarkan perilaku keluarga
dan juga sebagai upaya untuk memastikan kebenaran dari keterangan-keterangan
terdahulu yang sudah diberikan informan.
Uji keabsahan data dilakukan
dengan tehnik triangulasi data. Saya akan memastikan bahwa catatan harian
wawancara dengan informan dan catatan harian observasi telah terhimpun.
Kemudian dilakukan penyesuaian informasi terhadap materi catatan-catatan
harian, untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan
harian wawancara dan catatan harian observasi, supaya dapat dipastikan bahwa
jawaban yang diberikan sesuai dengan hasil pengamatan. Jika ada perbedaan
informasi atau informasi tidak relevan, saya akan menelusuri sumber perbedaan tersebut
dan mengkonfirmasi perbedaan tersebut pada informan dan sumber-sumber lainnya.
Atau, jika terjadi ketidaksesuaian informasi maka triangulasi data dilakukan
dengan mewawancarai anggota keluarga yang lainnya, atau dengan metode
pengamatan untuk memastikan tindakan informan dalam mencegah penyakit DBD.
Alat bantu yang digunakan dalam
proses pengumpulan data yaitu alat tulis, ënote
bookà dan kamera. Data hasil pengamatan dan wawancara umumnya langsung saya
tulis di tempat penelitian dalam bentuk tulisan-tulisan singkat.
Tulisan-tulisan singkat ini kemudian dikembangkan ke dalam bentuk ëfield noteà yang lebih rinci dan
lengkap. Ada juga yang ditulis setelah berlalu sekian lama, sehingga sangat
rentan terhadap kemungkinan untuk terlupakan. Alat perekam tidak saya gunakan
dalam pengumpulan data, untuk menghindarkan kecemasan atau kecanggungan
informan dalam memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Informan yang sulit untuk
dijumpai, sulit untuk diwawancarai dan tidak memberikan izin kepada saya untuk
melihat beberapa bagian rumah, terutama bagian kamar tidur, merupakan
kendala-kendala yang saya alami selama mengumpulkan data. Bahkan ada informan
yang tidak mengizinkan saya melakukan dokumentasi untuk beberapa bagian
rumahnya, sehingga ada juga data-data yang penggambarannya lebih baik dengan
dokumentasi tidak dapat saya peroleh, Sehingga beberapa data tersebut sulit
untuk dinarasikan ke dalam ëfield noteÃ.
Sedangkan data sekunder yaitu
data geografis, kependudukan dan mata pencaharian diperoleh dari Puskesmas
Medan Johor, Kantor Camat Medan Johor, ataupun kantor kelurahan di wilayah
Kecamatan Medan Johor.
Data yang pertama ingin saya
telusuri adalah berkaitan dengan pengetahuan dan sikap informan dalam
pencegahan penyakit DBD. Sedangkan data tindakan pencegahan penyakit DBD lebih
banyak saya peroleh dengan metode pengamatan terhadap keadaan rumah dan
lingkungan sekitar rumah.
E. Metode
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data
untuk mengetahui perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap dan tindakan) dalam
pencegahan penyakit demam berdarah dengue di Puskesmas Medan Johor Kota Medan,
dilakukan dengan cara menarasikan hasil wawancara mendalam dan hasil pengamatan
ke dalam bentuk ëfield noteà atau
catatan lapangan yang mudah dipahami dan
dimengerti.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Pengetahuan
Keluarga dalam Pencegahan DBD
Pengetahuan adalah hasil penginderaan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda
(Notoatmodjo, 2005: 50).
Hasil analisis data dari wawancara mendalam
yang dilakukan pada informan menggambarkan pengetahuan dan sikap informan dalam
upaya pencegahan penyakit DBD. Pada dasarnya informan memiliki pengetahuan
tentang cara pencegahan penyakit DBD dengan cukup baik, dan tahu bahwa gigitan
nyamuk yang menjadi sumber penularan penyakit ini. Narasi ini menggambarkan
pengetahuan dan sikap informan tentang penyebab dan gejala penyakit DBD,
walaupun demikian jawaban yang diberikan bervariasi: Menurut Ibu Siska bahwa
gejala-gejala dari penyakit DBD adalah panas pada tubuh yang tidak turun-turun
selama 3-4 hari, kemudian adanya bintik-bintik merah pada tubuh. Penyebab ini
semua adalah gigitan nyamuk, ìnyamuknya ini suka berpindah-pindah, menggigit
orang di sini, lalu pindah ke tempat
lain dan menggigit orang lain lagi di tempat itu, begitulah seterusnya buî, katanya.
Untuk mencegah penyakit ini maka perlu dijaga kebersihan rumah, membersihkan
macam bak mandi, menguras jentik-jentiknya, menguras genangan air, dan mengubur
barang-barang bekas. Lalu Ibu Diana mengatakan bahwa penyebab demam berdarah
adalah gigitan nyamuk. Sumber nyamuk tersebut dari tumpukan- tumpukan barang
dan batang-batang pisang yang ada pada semak-semak di sebelah rumahnya, atau
kaleng-kaleng terbuka yang masih menyimpan air di dalamnya.
.
B. Sikap
Keluarga dalam Pencegahan DBD
Sikap adalah
respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sudah
melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang ñ tidak
senang, setuju ñ tidak setuju,
baik ñ tidak
baik, dan sebagainya). Menurut Campbell, 1950 dalam Notoadmotjo, 2005:
52
mengatakan,
îAn individualÃs attitude is syndrome of response consistency
with
regard
to objectî. Dengan
pengertiannya bahwa sikap
itu suatu sindroma atau kumpulan gejala
dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap
itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan
gejala kejiwaan yang lain.
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, tetapi sikap belum tentu terwujud
dalam tindakan.
Sikap ibu pada masing-masing keluarga ada
yang sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi juga ada yang berbeda bahkan
bertentangan dengan pengetahuannya. Seperti dengan Ibu Ina, di belakang pintu
kamar ada banyak pakaian bekas pakai yang digantung beserta dengan tas-tas
sekolah anak-anaknya.
C. Tindakan Keluarga dalam Pencegahan DBD
Praktik atau tindakan untuk hidup sehat
adalah semua kegiatan atau aktivitas individu/orang dalam rangka memelihara
kesehatan. Beberapa kegiatan yang dilakukan keluarga dalam mencegah penyakit DBD, adalah:
1. Membersihkan Rumah
Ada beberapa keluarga yang
menganggap bahwa jika bak kamar mandi dikuras seminggu sekali nyamuk penyebab
DBD sudah tidak ada di sekitar rumah mereka. Berdasarkan pengamatan pada salah
satu keluarga, diketahui bahwa keluarga ini memang menguras bak kamar mandinya
selalu, ini diketahui dengan tidak adanya endapan kotoran air pada dasar bak
penampungan air di kamar mandi dan dinding juga tampak bersih.
2. Membersihkan Lingkungan Sekitar Rumah
Menjaga kebersihan lingkungan
sekitar rumah juga dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk penyebab DBD. Namun
kegiatan ini tidak mudah dilakukan karena membutuhkan kerjasama antara sesama
warga suatu lingkungan. Hal ini dialami
oleh Ibu Diana.
Dia merasa kesulitan
membersihkan lingkungan di
sekitar rumahnya karena selokan di depan rumahnya juga digunakan warga lain
untuk pembuangan limbah rumah tangga, sehingga dia merasa sia-sia jika
dibersihkan, karena setelah dibersihkan akan kotor lagi oleh sampah-sampah dari
rumah tetangga. Pelaksanaan gotong royong
sulit untuk dilakukan
karena warga di lingkungan
sekitarnya, dari siang hingga pagi hari jarang berada di rumah.
Tetapi untuk sampah-sampah di
halaman rumah atau sampah-sampah
produksi rumah tangga, selalu diupayakannya untuk membersihkannya. Sampah-
sampah produksi rumah tangga selalu dibuang ke tempat sampah yang ada di depan
rumah, dan setiap hari diangkat oleh truk pengangkut sampah.
Tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan ibu Diah (istri Bapak Yusuf). Setiap sore dia selalu menyapu halaman
rumahnya, dan membakar sampah-sampah yang
sudah mengering. Sedangkan
sampah-sampah basah dibiarkan,
jika sudah kering baru dibakar. Tetapi untuk
beberapa sampah yang laku dijual, seperti gelas minuman plastik atau
botol-botol plastik dikumpulkan pada sebuah karung beras. Karung tersebut
digantung di dinding belakang rumah. Benda-benda ini baru dijual jika sudah
cukup banyak.
3. Pemakaian Anti Nyamuk
Menjaga kebersihan rumah dan
lingkungan telah dilakukan oleh beberapa keluarga-keluarga ini, tetapi untuk
menghindari gigitan nyamuk, ada juga keluarga- keluarga yang menggunakan pemakaian
anti nyamuk. Penggunaan anti nyamuk ini berdasarkan pengalaman mereka atau pun
pengalaman tetangga mereka. Walaupun keadaan rumah sudah dibersihkan, tetapi
ada juga salah seorang anggota keluarga terkena penyakit DBD.
Begitu juga yang dilihat dan didengarnya
dari tetangga. Ibu Siska merasa rumah tetangganya sudah cukup bersih,
lingkungan rumahnya juga bersih, tetapi
salah seorang anak tetangganya ini juga pernah menderita DBD.
Berdasarkan perbincangan mereka, perolehan gigitan nyamuk ini ketika si anak
berada di sekolah.
Berdasarkan pengamatan maupun
hasil analisis pada ìfield noteî,
diketahui bahwa ada dua keluarga yang selalu menggunakan anti nyamuk. ìSelaluî
yang dimaksud di sini adalah keluarga ini tidak pernah lupa menggunakannya
setiap hari.
Ada beberapa jenis anti nyamuk,
tetapi yang tertangkap oleh saya adalah pemakaian anti nyamuk lotion (dioleskan
pada kulit) dan anti nyamuk listrik. Ada juga keluarga yang lain menggunakan
anti nyamuk bakar dan anti nyamuk semprot, tetapi untuk kedua jenis anti nyamuk
ini digunakan pada jam-jam tertentu saja.
a. Anti Nyamuk Lotion
Secara umum informan yang saya
wawancarai mengatakan salah satu upaya untuk mencegah keluarga dari gigitan
nyamuk adalah dengan menggunakan anti nyamuk
lotion
b. Anti
Nyamuk Listrik
Tindakan yang dilakukan Bapak Yusuf untuk
menghindari keluarganya dari gigitan
nyamuk, selain menjaga kebersihan rumah, juga menggunakan anti nyamuk. Karena
mempunyai anak kecil, jadi tidak menggunakan anti nyamuk bakar, karena asapnya
merusak paru-paru anak-anak. Yang digunakan anti nyamuk listrik, ini pun
digunakan jika hendak tidur saja yaitu sekitar jam 8 malam.
Untuk menghindari gigitan nyamuk pada pagi
hari atau sore hari, Bapak Yusuf tidak
membiasakan anaknya menggunakan anti nyamuk lotion. Dia merasa ragu menggunakan
anti nyamuk lotion, karena belum paham apakah punya efek samping terhadap kulit
atau tidak.
4. Pemakaian Kelambu
Persoalan pencegahan anggota
keluarga dari gigitan nyamuk DBD memang berbeda-beda. Ibu Diana lain lagi yang
dilakukannya agar anak-anaknya terhindar
dari gigitan nyamuk. Merasa tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan
sekitarnya, terutama selokan, maka dia memasang kelambu untuk setiap kamar
tidur. Bahkan, ketika anak-anaknya tidak mau tidur siang di kamar karena udara
yang panas dan lebih memilih tidur di ruang tamu, Ibu Diana pun memasang
kelambu. Menurut ibu Diana, tindakan yang dilakukannya sebenarnya cukup
merepotkan, karena harus memasang dan menggulung kelambu setiap harinya, tetapi
dia merasa tidak berdaya dan selalu khawatir salah satu nyamuk yang berada di
sekitar rumahnya adalah nyamuk demam berdarah.
Dari pengamatan yang saya
lakukan, memang di rumah Ibu Diana cukup banyak nyamuk, apalagi menjelang sore
hari. Di beberapa titik ruangan rumah memang diletakkan anti nyamuk bakar,
tetapi nyamuk-nyamuk tersebut seakan tidak perduli dan tetap saja beterbangan.
Selain persoalan selokan yang
kurang bersih, karena ada beberapa sampah sehingga alirannya tidak begitu
lancar. Di sebelah rumah Ibu Diana, ada tanah kosong yang becek (ada genangan
air), beserta sampah-sampah plastik di sana-sini.
5. Penyemprotan (Fogging)
Jika ada anggota masyarakat yang terkena DBD maka
oleh petugas puskesmas dilakukan
penyemprotan. Pada dasarnya semua keluarga ini setuju dengan penyemprotan yang
dilakukan oleh petugas
kesehatan.
6. Pemberian
Bubuk Abate
Pencegahan DBD dengan menaburkan bubuk abate
pada tempat-tempat penampungan air kurang dipahami oleh keluarga-keluarga ini.
Keluarga-keluarga ini akan menaburkan abate di bak kamar mandi jika petugas
kesehatan memberikannya. Jika tidak ada diberikan oleh petugas kesehatan, maka
tidak ada usaha sama sekali untuk membeli sendiri.
7. Pemakaian Kelambu
Persoalan
pencegahan anggota keluarga dari gigitan nyamuk DBD memang berbeda-beda. Ibu
Diana lain lagi yang dilakukannya agar anak-anaknya terhindar dari gigitan nyamuk. Merasa tidak bisa
menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya, terutama selokan, maka dia memasang
kelambu untuk setiap kamar tidur. Bahkan, ketika anak-anaknya tidak mau tidur
siang di kamar karena udara yang panas dan lebih memilih tidur di ruang tamu,
Ibu Diana pun memasang kelambu. Menurut ibu Diana, tindakan yang dilakukannya
sebenarnya cukup merepotkan, karena harus memasang dan menggulung kelambu
setiap harinya, tetapi dia merasa tidak berdaya dan selalu khawatir salah satu
nyamuk yang berada di sekitar rumahnya adalah nyamuk demam berdarah.
Dari pengamatan yang saya lakukan, memang di
rumah Ibu Diana cukup banyak nyamuk, apalagi menjelang sore hari. Di beberapa
titik ruangan rumah memang diletakkan anti nyamuk bakar, tetapi nyamuk-nyamuk
tersebut seakan tidak perduli dan tetap saja beterbangan.
Selain persoalan selokan yang kurang bersih,
karena ada beberapa sampah sehingga alirannya tidak begitu lancar. Di sebelah
rumah Ibu Diana, ada tanah kosong yang becek (ada genangan air), beserta sampah-sampah
plastik di sana-sini.
8. Penyemprotan (Fogging)
Jika ada anggota masyarakat yang terkena DBD
maka oleh petugas puskesmas dilakukan
penyemprotan. Pada dasarnya semua keluarga ini setuju dengan penyemprotan yang
dilakukan oleh petugas
kesehatan.
9. Pemberian
Bubuk Abate
Pencegahan DBD dengan menaburkan bubuk abate
pada tempat-tempat penampungan air kurang dipahami oleh keluarga-keluarga ini.
Keluarga-keluarga ini akan menaburkan abate di bak kamar mandi jika petugas
kesehatan memberikannya. Jika tidak ada diberikan oleh petugas kesehatan, maka
tidak ada usaha sama sekali untuk membeli sendiri.
10. Pemantauan
Jentik Berkala
Pemeriksaan jentik-jentik nyamuk dilakukan
oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Untuk setiap lingkungan tempat tinggal
ada seorang petugas Jumantik. Ibu Diah
yang lebih sering berada di rumah mengatakan bahwa sangatlah jarang Jumantik
datang ke rumah-rumah. Paling akan datang ke rumah untuk memeriksa jentik-jentik di
rumah dan sekitarnya,
jika ada kasus
DBD yang ditemukan di lingkungan tersebut.
Untuk dapat memberantas penyakit demam
berdarah maka tindakan yang dilakukan adalah memutuskan rantai penularan dengan
melakukan pemberantasan pada vektor. Menurut Soedarmo (2005: 59), cara yang
dapat digunakan yaitu:
a.
Perlindungan
perorangan untuk mencegah gigitan nyamuk Aedes
aegypti yang dapat dilakukan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam
rumah. Cara terbaik ialah pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat
dilakukan ialah: a) menggunakan anti nyamuk semprot/spray ; b) menuangkan air
panas pada saat bak mandi berisi air sedikit; c) memberikan cahaya matahari
langsung lebih banyak ke dalam ruangan.
b.
Pemberantas
vektor jangka panjang. Cara yang dapat dilakukan secara terus- menerus adalah
membuang secara baik kaleng, botol, ban, dan semua yang mungkin dapat menjadi
tempat nyamuk bersarang. Vas bunga satu minggu sekali ditukar airnya. Dinding
bagian dalam bak mandi dan tempat penyimpanan air lainnya digosok secara
teratur pada saat permukaan air rendah untuk menyingkirkan telur nyamuk.
Sebelum mengisi kembali, tempat penyimpanan air sebaiknya dikosongkan terlebih
dahulu untuk menyingkirkan larva.
c.
Apabila
dana dan sarana terbatas, usaha pemberantasan vektor dapat dibantu dengan
menggunakan bahan kimia.
Dua dari tiga cara di atas melibatkan peranan
masyarakat sepenuhnya. Masalah peran serta masyarakat tidak terlepas dari
perilaku individu-individu sebagai anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, agar masyarakat mau berperilaku kesehatan maka perlu peningkatan
pengetahuan tidak hanya sampai tahap tahu dan paham, tetapi mencapai tahap
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan masyarakat mengenai
penyebab dan cara pencegahan penyakit demam berdarah hanya mencapai tingkatan
tahu dan paham, begitu juga dengan sikap masyarakat mencapai tingkatan menerima
dan menanggapi. Pengetahuan belum mencapai tahap interest, evaluation, trial, adaption. Sikap belum mencapai tahap responding, valuing dan responsible dikarenakan informasi yang
diperoleh masih belum jelas benar dan juga banyak faktor yang mempengaruhi
individu untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan pengetahuan dan sikap
yang dimilikinya.
Faktor kebiasaan hidup sehari-hari,
faktor tidak adanya dukungan dari suami dan anak-anak dan faktor tidak atau
kurangnya sarana dan fasilitas yang mendukung terjadinya perilaku kesehatan,
merupakan suatu hal yang menyebabkan tidak teraplikasinya pengetahuan dan sikap
yang sudah positif ke dalam bentuk tindakan yang positif.
Dalam melakukan tindakan terhadap
pencegahan penyakit demam berdarah, masyarakat juga melakukan dalam berbagai
kegiatan. Yang paling utama dilakukan masyarakat adalah membersihkan rumah dan
lingkungan sekitarnya dan pemakaian anti nyamuk. Kegiatan-kegiatan ini dianggap
sudah membebaskan setiap anggota keluarga dari gigitan nyamuk Aedes aegypti. Jika ada salah satu
anggota keluarga yang menderita demam
berdarah, maka penyemprotan/fogging merupakan suatu langkah penanggulangan yang cukup ampuh untuk mematikan
nyamuk penyebab DBD. Dan semua kegiatan ini masih bergantung dengan keaktifan
atau peran serta dari petugas kesehatan.
Agar masyarakat juga memiliki peran
serta yang baik dalam pencegahan penyakit demam berdarah, seharusnya masyarakat
memiliki pengetahuan yang mencapai tingkat analisis, aplikasi, sintesis dan
evaluasi, dan sikap yang mencapai tahap menghargai dan bertanggungjawab
sehingga dapat benar-benar paham dan mau melaksanakan upaya pemutusan rantai
penularan penyakit demam berdarah.
B. Saran
1. Sebaiknya informasi tentang pencegahan
penyakit demam berdarah yang disampaikan oleh petugas kesehatan, dipastikan
benar-benar dipahami oleh keluarga dan masyarakat.
2. Keterlibatan
kader kesehatan, kepala lingkungan, PKK, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
lintas sektor lainnya perlu ditingkatkan agar dapat meningkatkan keberhasilan
pelaksanaan PSN-DBD.
Anonim,https://www.researchgate.net/publication/42324863_Perilaku_Masyarakat_Dalam_Pencegahan_Penyakit_Demam_Berdarah_Dengue_Di_Puskesmas_Medan_Johor_Kota_Medan_Tahun_2009 (diakses pada tanggal 7 April 2016
pukul 13:00 WITA)
Anonim, http://eprints.undip.ac.id/20487/1/2475.pdf (diakses
pada tanggal 7 April 2016 pukul 13:00 WITA)
Anonim,https://dewimaulidah.wordpress.com/category/karya-ilmiah-dbd/ (diakses
pada tanggal 7 April 2016 pukul 13:00 WITA)
Anonim,http://city-selatiga.blogspot.co.id/2012/07/makalah-dbddemam
berdarah
.html (diakses
pada tanggal 7 April 2016 pukul 13:00 WITA)
Anonim,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6936/1/09E01740.pdf (diakses pada tanggal 7 April 2016 pukul 13:00 WITA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar